Diam!?

Diam!?
Saya ingin mengajak kita untuk diam sejenak. Bukan, bukan membisu seperti (mohon maaf) orang yang tuna wicara. Meski boleh jadi juga memang diam yang saya maksudkan itu adalah diam yang itu, jangan banyak bicara.

Saya ingin mengajak antum untuk diam. Meski ini hanya sebatas penggunaan bahasa saja, tapi saya pikir ini cukup mewakili apa yang ingin saya ungkapkan. Apalagi sumber inspirasinya secara leterelek juga mengatakan demikian," Dia berkata:"Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun(diam), sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (QS. 18:70)

Saya pikir perlu mengungkapkan ini karena tampaknya orang2 seperti kita cukup layak untuk belajar tentang hal ini. Agar kita bisa belajar lebih banyak dari apa yang ingin Allah wasiatkan lewat cerita-Nya tentang Nabi Musa dan Khidr di surat Al Kahfi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagai manusia biasa, kita memiliki banyak keterbatasan, ya, kita ini lemah dan serba memiliki keterbatasan. Keterbatasan ruang, waktu, kemampuan dan lain sebagainya. Meski dari sekian makhluk Allah yang diciptakan barangkali kita termasuk hamba-Nya yang paling mulia karena begitulah Dia juga mengungkapkannya di dalam Al Quran, laqad karramnaa banii aadama (sungguh telah kami muliakan bani Adam). Tapi kemuliaan tidak sama sekali menghapus sebuah kodrat yang Allah ciptakan juga bagi kita, yaitu KELEMAHAN. Kemuliaan yang Allah anugerahkan juga tak serta merta menempetkan kita pada makhluk super. Penting untuk kita catat bahwa dibalik kemuliaan dan keterhormatan itu kita tetap makhluk biasa.

Ada banyak hal yang tersembunyi dibalik kepintaran dan keserbatahuaan kita, ada bertumpuk permasahalan yang masih belum bisa dipecahkan dibalik kehebatan kita memberikan solusi-solusi permasalahan. Tersisa banyak ancaman yang tidak kita ketahui dibalik usaha ekstra kehati-hatiaan kita. Ada banyak peluang yang boleh jadi kita abaikannya karena tak tahu dimana letak peluang-peluang itu dan bagaimana meraihnya. Mungkin juga ada bertumpuk potensi yang bisa kita kembangan yang luput dari alam sadar kita dan barangkali orang lain (tanpa sepengetahuan kita menyadari akan hal itu). Ini hanya secuil dari bukti kemahalemahan kita. Kemahalemahan kita dihadapan sang maha pencipta, bahkan mungkin juga makhluk Allah lainnya, kenapa? karena tiada lain kita hanyalah hamba.

Tapi ada fonomena lain dibalik realitas yang telah kita sebutkan tadi. Ada kenyataan yang paradok dengan sesuatu yang sudah kita ketahui sebagai keniscayaan itu. Kenyataan dimana kita sering mengekspresikan kemahaterbatasan itu dengan kepongahan, kenyataan dimana kita juga sering lupa diri, mengabaikan orang lain, egois. Kenyataan dimana kita kadang lebih merasa pinter, segala sesuatunya harus masuk di akal, rasional. Seakan akal kita adalah satu-satunya hakim yang menentukan perjalanan hidup ini. Kenyataan dimana kita sering memberikan standar bahwa sesuatu yang terbaik dan yang paling tepat adalah harus sesuai dengan pertimbangan dan selera pribadi kita.

Kita kadang enggan belajar dengan metode yang sedang saya tawarkan ini. Betul bahwa, seperti dikatakan oleh para ahli mantiq, ahli retorika dan filsafat, ilmu itu lahir dari pertanyaan-pertanyaan, Tapi mari kita mencoba mempelajari hal-hal unik dalam kehidupan dengan salah satu cara yang tak kalah penting dengan metode bertanya.

Lihat betapa ketika Musa as. Merasa bahwa tidak ada orang yang lebih banyak pengetahuaannya dari pada dia, Allah ingin mengingatkan tentang sunnah-Nya di alam raya ini, bahwa selama berstatus sebagai makhluk maka sama sekali tak akan pernah ada yang perpect, meski dalam satu sisi kehidupan saja. Dibalik kepintaran nalar masih banyak tersisa ketidaktahuaan yang tak terbilang. Oleh karenanya, Allah mengutus Khidir untuk mengingatkan beliau asalaihissalam tentang hakikat ini. Lalu bagaimana Khidir memberikan isyarat awal kepada sang hamba (yang mungkin juga memang lebih pintar darinya dari beberapa sisi lain) tentang pesan yang ingin Allah wasiatkan kepada hamba-hamba-Nya hingga akhir zaman ini. Dia hanya meminta Musa dengan satu syarat saja yaitu DIAM, jangan bertanya sebelum dijelaskan atau sebelum mengetahui hakikat sesuatu lewat pengalaman, perenungan, penghayatan dan penelitian yang mendalam. Ia pun memintanya untuk diam ketika menemukan berbagai kejadian yang nanti akan mereka lalui. Diam untuk tidak dulu memberikan komentar, atau sanggahan apalagi protes baik dengan kata-kata atau perbuatan. Diam agar jangan terlalu gampang memberikan kesimpulan, jangan cepat-cepat mengambil keputusan hanya dengan pertimbangan sepihak dirinya atau karena menguji dan membandingkan dengan pengalaman spesial pribadinya, apalagi jika sekedar mengikuti selera dan bagaimana enaknya menurut kebijakan intern dirinya. Lantas sanggupkah Musa as. memenuhi prasyarat ini?

Tampaknya Allah memang ingin lebih cepat mengajarkan kita tentang mutiara berharga dari kisah ini. Musa ditakdirkan tak sanggup memenuhi prasarat yang diajukan. Tiga kali dia melanggar, cukup sudah bagi Khidir untuk secara terus terang membeberkan rahasia diantara rahasia-rahasia kesuksesan yang Allah pesankan mengenai BELAJAR. Belajar tentang apapun dalam hidup ini. Bukan hanya dibangku sekolah atau kuliah tapi belajar dalam makna dan cakupannya yang sangat luas. Mungkin belajar berbisnis, boleh jadi belajar berkeluarga atau belajar berdakwah dan berharokah, belajar menjadi da'I dsb. Khidir seolah diminta untuk segera menyampaikan pesan itu, tentang prasyarat yang harus terus dimiliki oleh para pelajar sejati, mereka yang punya setitik potensi dan kemampuan yang Allah anugerahkan dibalik berbagai kealfaan, kelemahan, kebodohan dan dan berbagai ancaman ketidaklulusan hidup yang terus mengintainya. Prasarat itu –dalam bahasa saya- terangkai hanya dengan empat hurup saja yaitu DIAM. Diam yang dalam bahasa Al Quran diungkapkan dengan sebaik kata-kata yaitu SABAR. "Khidihr berkata:"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. 18:78)

Pertanyaannya sekarang sudah sejauh manakah kita mengusai seni ini? Sudah sebesar apakah metode ini memberikan saham kepada kita dalam setiap kesuksesan? Adakah kesuksesan dalam lahan hidup kita yang sangat luas ini tertunda hanya karena tidak atau belum mengusai keterampilan ini? Atau apakah kesusksesan kita yang seharusnya diraih dalam rentang waktu yang singkat terpaksa harus muter-muter dan menghabiskan lebih banyak waktu, energi serta menyedot lebih banyak pengorbanan hanya karena kita tak menguasai seni ini? Mari kita tanyakan dengan jujur kepada keluhuran sanubari kita. Mari bangkit untuk segera mencoba, melatih dan mempraktekannya jika memang hilang dan belum kita miliki. Mari untuk terus mentradisikannya dalam kepribadian kita jika kita telah memiliki sebagaian saham saja darinya. Karena saya sakin orang-orang yang sukses, seperti para Anbiya, para sahabat, generasi salafushaleh dan para senior yang telah mendahului kita meraih kesuksesannya adalah mereka yang termasuk memiliki seni yang diajarkan oleh kisah Khidir-Musa ini. Seni DIAM.

Ketika mengenang ketertundaan kesuksesan karena belum bisa diam.

Kairo 19 Mei 2004


comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger