Kedudukan Bulan Muharram
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah (9): 36)
Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah ra bersabda:
« إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ، السَّنَّةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ؛ ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُوْ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ » [متفق عليه]
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya termasuk empat bulan yang dihormati: Tiga bulan berturut-turut; Dzul Qoidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terdapat antara bulan Jumadal Tsaniah dan Sya’ban.”[1]
Pada empat bulan ini Allah menekankan agar kita kaum muslimin jangan melakukan perbuatan aniaya (az-zulm), sebagaimana firman-Nya:
“Jangan kalian aniaya diri kalian.”
Ada dua penafsiran az-zulm (الظلم) dalam ayat di atas.
Pertama, adalah berperang. Maksudnya tidak boleh berperang pada bulan-bulan yang diharamkan. Namun ketentuan ini –sebagaimana dikuatkan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya- telah mansukh (dihapus). [2]
Kedua, Perbuatan maksiat dan dosa. [3] Namun hal ini bukan berarti bahwa bermaksiat dibolehkan pada bulan lainnya. Karena kemaksiatan, apapun bentuknya adalah dilarang, kapan pun dan dimana pun tanpa terkecuali. Namun sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya bahwa dikhususkannya larangan bermaksiat pada bulan-bulan ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan bulan ini di banding bulan-bulan lainnya, dimana kemaksiatan di dalamnya mendapat penekanan untuk dijauhi oleh setiap muslim. [4]
Kedudukan bulan Muharram juga dapat dilihat dari nama bulan itu sendiri dan julukan yang diberikan kepadanya.
Nama Muharram merupakan sighat maf’ul dari kata Harrama-Yuharrimu, yang artinya diharamkan. Maka kembali kepada permasalah yang telah dibahas sebelumnya, hal tersebut bermakna bahwa pengharaman perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Ta’ala memiliki tekanan khusus yang sangat kuat pada bulan ini.
Kemudian dari sisi istilah, bulan ini disebut sebagai “Bulan Allah” (Syahrullah), sebagaimana terdapat riwayat yang akan disebutkan dalam pembahasan berikut. Berarti bulan ini disandingkan kepada Lafzul Jalalah (Lafaz Allah). Para ulama menyatakan bahwa penyandingan makhluk kepada Lafzul Jalalah, memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaiman istilah Baitullah, Rasulullah, Abdullah, dsb.
Mengapa Muharram Ditetapkan Sebagai Awal Tahun Hijriah?
Banyak yang mengira bahwa penetapan bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriah adalah karena peristiwa Hijrah Rasulullah saw. ke Madinah terjadi pada bulan itu. Perkiraan tersebut keliru, karena Rasulullah saw. memulai perjalanan Hijrahnya pada akhir bulan Shafar dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabi’ul Awal [5]. Benar bahwa peristiwa hijrah dijadikan sebagai patokan untuk memulai penanggalan Hijriah, dimana tahun kejadiannya dijadikan sebagai tahun pertama dalam penanggalan hijriah. Maka kalau sekarang dikatakan sebagai tahun 1427 H, hal itu berarti telah berlalu 1427 tahun sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah. Namun penetapan Muharram sebagai awal tahun Hijriah adalah karena alasan lain.
Bahkan ketika dimusyawarahkan pada zaman Umar bin Khattab tentang bulan apa yang akan dijadikan sebagai bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, pada awalnya diusulkan adalah bulan Rabi’ul Awal, ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun akhirnya yang disepakati adalah bulan Muharram, karena pada bulan ini kaum muslimin telah pulang dari melaksanakan ibadah haji yang merupakan akhir dari rukun Islam yang lima.[6] Disamping itu -terkait dengan peristiwa hijrah- karena bulan Muharram dianggap sebagai awal dari keinginan Hijrah, mengingat peristiwa Bai’atul Aqabah kedua [7] terjadi pada pertengahan bulan Dzulhijjah, dan karenanya diperkirakan bahwa pada bulan Muharram keinginan untuk melakukan hijrah sudah bulat. [8]
Puasa ‘Asyuro
Dibulan Muharram ini berdasarkan syariat Islam, terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumu ‘Asyuro, yaitu hari tanggal sepuluh bulan Muharram. Asyuro berasal dari kata ‘asyarah’ yang artinya sepuluh.
Pada hari Asyuro inilah terdapat sebuah sunnah yang telah diajarkan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk dilaksanakan sebagai bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Yaitu ibadah puasa, yang lebih dikenal dengan istilah shaum Asyuro, atau puasa Asyuro.
1- Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: “Rasulullah bersabda:
« أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ »
[رواه مسلم وأصحاب السنن. صحيح مسلم، حديث رقم: 202-(1163)]
2- Diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata: Dahulu orang-orang Quraisy pada masa jahiliah berpuasa pada hari ‘Asyuro, maka ketika beliau (Rasulullah saw) datang ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkannya, kemudian ketika telah ditetapkan kewajiban puasa bulan Ramadhan, beliau meninggalkan (perintah wajib) puasa ‘Asyuro, siapa yang berkehendak maka dia berpuasa, dan siapa yang tidak maka dia (boleh) meninggalkannya. (Muttafaq alaih) [9]
2- Abu Qatadah ra meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda:
« وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ »
[رواه مسلم وغيره. صحيح مسلم ، حديث رقم: 196-(1662)]
“Dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Alllah menjadi penghapus dosa selama setahun sebelumnya.” [10]
3- Ibnu Abbas ra berkata:
« مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ J يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ، يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَهَذَا الشَّهْرَ، يَعْنِي: شَهْرَ رَمَضَانَ » [متفق عليه. صحيح البخاري، حديث رقم 2006، صحيح مسلم، حديث رقم: 131-(1132)]
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. mengupayakan untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyuro, dan bulan ini yaitu Bulan Ramadhan.” [11]
4- Ibnu Abbas ra berkata: “Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro, maka dia berkata: “(Hari) apa ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah selamatkan Bani Isra’il dari musuhnya, karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw bersabda:
« فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ »
“Saya lebih berhak kepada Musa dari kalian.”
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa.” [12]
5- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyuro dan memerintahkan (kaum muslimin) untuk berpuasa, mereka (para shahabat) berkata: ‘Ya Rasulullah! Ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nashrani,’ maka bersabdalah Rasulullah saw.:
« فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلًُ - إِنْ شَاءَ اللهُ- صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ »
“Jika (bertemu) tahun depan, Insya Allah, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (bulan Muharram).”
Namun ternyata tahun depannya Rasulullah sudah meninggal dunia.” [13]
6- Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda:
« صُوْمُوا يَوْمَ عَاشُوْراَءَ وَخَالِفُوا فِيْهِ الْيَهُوْدَ، وَصُوْمُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »
[رواه احمد وابن خزيمة بسند ضعيف. ضعفه الألباني في ضعيف الجامع، رقم: 3506]
“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi pada masalah ini, berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” [14]
Kesimpulannya adalah: Tidak ada ibadah dalam syariat terkait dengan hari ‘Asyuro, kecuali puasa yang telah diajarkan Rasulullah.
Fase Penetapan Puasa ‘Asyuro
Dari sejumlah riwayat yang ada, dapat disimpulkan bahwa pada masa Rasulullah saw., ketetapan puasa ‘Asyuro memiliki beberapa fase penetapan, yaitu:
Pertama, Rasulullah saw. telah melakukan puasa ‘Asyuro sejak awal sebagaimana orang-orang Quraisy pada masa Jahiliah melakukannya, namun beliau tidak memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.
Kedua, Ketika beliau datang ke Madinah dan mengetahui orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari ‘Asyuro, beliau berpuasa dan memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa juga. Sebagian ulama berpendapat bahwa saat itu puasa ‘Asyuro wajib hukumnya, sebagian lagi menyatakan Sunnah Mu’akkadah (Sunnah yang sangat ditekankan).
Ketiga, Setelah diturunkan kewajiban puasa Ramadhan (tahun 2 H), maka setelah itu beliau beliau tidak memerintahkannya lagi namun juga tidak melarangnya dan membiarkannya sebagai perkara Sunnah. Kebanyakan para ulama menyatakan bahwa saat itu, puasa ‘Asyuro sebagai Sunnah ghoiru mu’akkadah (sunnah yang tidak ditekankan).
Keempat, Diakhir kehidupannya Rasulullah saw. bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari ‘Asyuro saja, tetapi juga menyertakan hari lainnya (tangal sembilan), agar berbeda dengan ibadahnya orang Yahudi. [15]
Bagaimana Berpuasa ‘Asyuro?
Ibnu Qoyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad[16] –Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan tentang urutan puasa ‘Asyuro: Yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh dan sehari sebelum dan sesudahnya (9, 10, dan 11), urutan yang kedua adalah puasa tanggal sembilan dan sepuluhnya dan inilah yang banyak disebutkan dalam hadits, sedang urutan ketiga adalah puasa tanggal sepuluhnya saja.
Terkait dengan dalil yang memerintahkan puasa sebanyak tiga hari (9,10 dan 11) para ulama mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas (lihat hadits no. 6 dalam pembahasan ini) yang sering dijadikan landasannya adalah dha’if, [17] dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Akan tetapi pengamalannya tetap dibenarkan oleh para ulama dengan dua alasan.
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a dan ‘Asyuro. [18]
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul Bidh). [19]
Adapun puasa tanggal sembilan dan sepuluh, dinyatakan jelas dalam hadits yang shahih, dimana Rasulullah saw. pada akhir kehidupannya sudah berencana untuk puasa pada tanggal sembilannya. Hanya saja beliau lebih dahulu meninggal. Beliau juga memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa pada tanggal sembilannya (bersama tanggal sepuluh) agar dapat membedakan diri dari perbuatan orang-orang Yahudi. Bahkan jika seseorang tidak sempat berpuasa tanggal sembilannya, maka setelah tanggal sepuluh, dia disunnahkan berpuasa pada tanggal sebelasnya untuk membedakan dirinya dari puasa orang Yahudi.
Sedangkan puasa tanggal sepuluhnya saja, sebagian ulama menyatakannya makruh, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama lainnya.
Secara keseluruhan dan berdasarkan keumuman hadits-hadits yang ada, puasa ‘Asyuro adalah ibadah yang sangat dianjurkan Rasulullah saw..
Bid’ah Pada Hari ‘Asyuro
1- Memperingati Hari Kematian Husain ra
Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah saw. dari perkawinan Ali bin Abi Thalib ra dengan putrinya Fatimah binti Rasulullah saw.. Dia juga dikenal sebagai orang yang sangat mirip fisiknya dengan Rasulullah saw. Beliau sangat mencintainya. Hal tersebut tampak dalam beberapa ungkapan dan sikapnya kepada Husain ra, di antaranya adalah sabda beliau j:
« حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْناً ، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ اْلأَسْبَاطِ »
[رواه الترمذي وابن ماجه. صححه الألباني في صحيح الترمذي رقم 225 وصحيح ابن ماجه، رقم 29]
“Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain,Allah mencintai orang yang mencintai Husain, Husain termasuk cucu keturunan(ku) .” [20]
Bersama saudaranya; Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, keduanya dinyatakan sebagai Pemimpin Pemuda di Surga, sebagaimana sabda beliau:
« الحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ »
(رواه الترمذي وابن ماجه. صححه الألباني في صحيح الترمذي رقم: 3775 وصحيح ابن ماجه، حديث رقم: 29)
“Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda di surga.” [21]
Peristiwa Terbunuhnya Husain
Husain ra terbunuh pada peristiwa yang sangat tragis, yaitu pada tanggal 10 bulan Muharram tahun 61 H, di sebuah tempat bernama Karbala, karenanya kemudian lebih dikenal dengan Peristiwa Karbala.
Hal tersebut bermula ketika Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan wafat tahun 60 H, lalu digantikan oleh anaknya Yazid bin Mu’awiyah, namun Husein tidak bersedia memberikan bai’at kepadanya karena perilakunya yang tidak baik. Lalu orang-orang Kufah meminta Husain ra untuk meninggalkan Mekah menuju Irak dan mereka akan membai’atnya sebagai khalifah dan berjanji akan membelanya. Ketika itu masih terdapat fitnah di antara kaum muslimin sebagai kelanjutan fitnah yang terjadi antara kubu Ali bin Thalib dan Mu’awiyah radhiallahuanhum ajma’in. Penduduk Kufah waktu itu berjanji kepada Husain untuk melindungi dan membelanya jika dia bersedia pergi ke Kufah dan menjadi pemimpin mereka.
Sebenarnya tokoh-tokoh shahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar telah menasihatinya untuk tidak memenuhi tawaran itu karena melihat hal tersebut tidak memiliki maslahat, namun ternyata Husain berkeras untuk pergi juga. Maka berangkatlah beliau menuju Kufah bersama 145 orang rombongannya ditambah kaum wanita dan anak-anaknya. Ternyata apa yang diharapkan bertolak belakang, orang-orang yang berjanji membela dan melindunginya tidak berbuat apa-apa ketika ditengah perjalanan di sebuah tempat bernama Karbala, Husain ra dan rombongannya diserbu oleh 4000 tentara Ubaidillah bin Ziyad, wali kota Bashrah dan Kufah saat itu yang masih loyal terhadap Khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ditempat itulah Husain ra dan rombongannya dibunuh dengan cara yang sangat mengenaskan setelah beliau memberikan perlawanan sekuat tenaga, sedangkan para wanita dan anak-anak ditawan. Namun yang perlu diketahui adalah bahwa pembunuhan tersebut tidak diingini Yazid bin Mu’awiyah, walaupun dia sedang bertikai dengan Husein ra. Karena itu dia murka besar terhadap apa yang dilakukan oleh Ubaidillah bin Ziyad.
Yazid berkata:
« رَحِمَ اللهُ حُسَيْناً لَوَدِدْتُ أَنْ أُتِيْتُ بِهِ سِلمًا »
“Semoga Allah merahmati Husein, aku sungguh berharap dia dibawa ke hadapanku secara damai.”
Kemudian kaum wanita dan anak-anak dari keluarga Husein, dipulangkan kembali ke Madinah dalam keadaan terhormat sebagai Ahlul Bait-nya Rasulullah saw.. [22]
Kejadian tersebut memang sangat tragis dan pasti menimbulkan rasa sedih yang sangat mendalam bagi siapa yang mengenang atau membaca kisahnya, apalagi terhadap orang yang dicintai Rasulullah saw, dan kita pun sebagai umatnya tentu mencintai dan memuliakannya.
Akan tetapi, apapun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rasulullah saw., namun hal tersebut tentu bukan alasan untuk bertindak dan berbuat melanggar ajaran Allah Ta’ala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah pada peristiwa Asyuro. Sebab berbagai peristiwa tragis juga pernah terjadi sebelumnya, seperti peristiwa terbunuhnya Hamzah bin Abdulmuththolib, atau peristiwa pembantaian yang menimpa puluhan shahabat Nabi yang diutus untuk mengajarkan Al Quran dll, namun hal tersebut ternyata tidak membuat Rasulullah saw. dan para shahabatnya mengenang atau memperingatinya sedemikian rupa sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah untuk mengenang terbunuhnya Husain radhiallahu anhu.
Karena musibah sebesar apapun dalam ajaran Islam, harus disikapi dengan sabar dan dikembalikan kepada Allah Ta’ala sebagai qadha dan kadar-Nya.
Firman Allah Ta’ala:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna lillahi wa Inna ilaihi raaji’un.” (QS. Al-Baqarah (2): 155-156)
Bahkan Rasululah saw. melarang dengan keras sikap menampakkan kesedihan yang berlebih-lebihan ketika ditimpa musibah, seperti menampar pipi, merobek-robek baju dan semacamnya yang dikenal dengan istilah Niyahah. Rasulullah saw. bersabda:
« لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الُجُيُوْبَ، وَدَعاَ بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ »
[متفق عليه، . صحيح البخاري، حديث رقم: 1294، وصحيح مسلم، حديث رقم: 165-(103)]
“Bukan golongan kami, orang yang menampar-nampar pipinya (karena duka), merobek-robek bajunya (karena duka) dan menyeru dengan seruan jahiliyah.” [23]
« أَنَا بَرِيْءٌ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ » [صحيح مسلم، حديث رقم: 167-(104)]
“Aku berlepas diri dari Shaliqah, Haliqah dan Syaqqah.” [24]
Shaliqah adalah orang yang berteriak ketika mendapatkan musibah, Haliqah adalah orang yang menggundul kepalanya ketika mendapatkan musibah dan Syaqqah adalah orang yang merobek bajunya ketika mendapatkan musibah. [25]
Bahkan kemungkaran dari peringatan peristiwa Asyuro ala orang-orang Syi’ah ini diperparah dengan tindakan mencaci maki para shahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra. Mereka memang sering memanfaat peristiwa tersebut untuk membangkitkan sentimen kaum muslimin terhadap Ahlul Bait, namun ujungnya adalah kebencian kepada sejumlah shahabat yang dibenci oleh orang-orang Syi’ah, khususnya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahuanhum dan shahabat-shahabat lainnya. Padahal secara keseluruhan, para shahabat adalah orang-orang yang dicintai Rasulullah saw., mencaci maki mereka adalah kemungkaran yang sangat besar, apalagi mencaci shahabat-shahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra yang jelas-jelas memiliki kedudukan tersendiri di sisi Rasulullah saw..
Rasulullah bersabda:
« لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ »
[متفق عليه. صحيح البخاري، حديث رقم: 3673، وصحيح مسلم، حديث رقم: 221-(2540)]
“Jangan kalian mencaci maki shahabatku, seandainya di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, hal tersebut belum sampai satu mud (kebaikan) mereka, bahkan tidak juga setengahnya.” [26]
Mencintai Ahlul Bait diperintahkan dalam Islam, namun tidak dengan cara yang dilarang dalam syariat apalagi jika sampai mencaci maki para shahabat.
Kesimpulannya adalah bahwa memperingati peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib pada tanggal sepuluh bulan Muharram adalah perbuatan munkar yang tidak boleh diikuti oleh setiap muslim yang ingin mengikuti perintah Allah dan meneladani Rasul-Nya.
2- Peringatan Hari Suka Cita
Sementara itu pada sisi yang berseberangan ada juga pengamalan yang keliru terkait dengan yaum asyuro. Yaitu dengan menganggapnya sebagai hari suka cita.
Hal ini juga merupakan bentuk tindakan yang tidak ada dalilnya dalam ajaran Islam. Dan jika dirunut kebelakang sumbernya juga berawal dari fitnah yang terjadi dari peristiwa terbunuhnya Husain ra. Dimana berhadapan dengan orang-orang Syi’ah yang mengagung-agungkan ahlul Bait hingga melampaui batas, ada kelompok yang dikenal dengan istilah An-Nawashib, mereka adalah orang yang membenci Ahlul Bait yang bersumber dari pemikiran kaum Khawarij. Maka terbunuhnya Husain ra, mereka sambut dengan riang gembira hingga kemudian dikenal sebagai Yaumul Farh (hari kegembiraan) sebagai lawan dari Yaumul Huzni (hari berkabung) yang dilakukan oleh kalangan Syi’ah. [27]
Keyakinan seperti ini ini juga jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam, karena tidak ada satu dalil pun yang melandasinya dalam ajaran Islam.
Yang benar dalam masalah ini adalah sikap wasathiah (pertengahan). Kita tetap diperintahkan mencintai dan memuliakan Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah saw.) dan tidak dibolehkan membenci atau memusuhinya, namun tidak boleh juga memujanya berlebih-lebihan selampai batas-batas yang telah ditentukan syariat.
3- Berbagai Bentuk Adat dan Ritual di Tanah Air
Di samping itu, di tanah air kita pun tidak luput dari berbagai macam ajaran-ajaran yang dikaitkan dengan peringatan ‘Asyuro dengan berbagai bentuk ritual dan adat yang beraneka macam, bahkan tidak jarang di dalamnya mengandung keyakinan dan pengamalan-pengamalan syirik, seperti meminta berkah kepada benda-benda yang dianggap sakti dan semacamnya. [28] Hal seperti ini juga termasuk yang harus dijauhi oleh kaum muslimin di manapun berada.
Kesimpulannya ikhwati fillah, hendaklah kita selalu melandasi setiap amal kita dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, jangan hanya sekedar ikut-ikutan saja atau perkiraan dan perasaan saja. Karena agama ini dibangun berdasarkan wahyu Allah dan ajaran Rasulullah saw.. Bukan perkiraan dan akal-akalan manusia.
‘Ibrah (Pelajaran);
1. Umat Muhammad Rasulullah saw. adalah Ummatun Marhumah, ummat yang disayang oleh Allah Ta’ala. Karena Allah telah menyediakan untuk umat ini berbagai kesempatan untuk beramal sebanyak-banyaknya. Sehingga walaupun ummat ini berusia lebih pendek di banding umat terdahulu, namun seakan-akan mereka diberi usia panjang dengan banyak kesempatan beramal shaleh yang telah Allah sediakan. Baru saja kemarin kita disibukkan dengan amal ibadah di bulan Ramadhan, kemudian Allah perintahkan kita untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal, lalu setelah itu kita dipertemukan dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah dengan berbagai keutamaan serta ibadah yang Allah sediakan bagi kita, kemudian setelah itu di bulan Muharram, kita dipertemukan dengan hari Asyuro… dengan ibadah dan keutamaan di dalamnya.
2- Hubungan berdasarkan keimanan, lebih kuat dan lebih bermanfaat daripada hubungan yang sekedar kekerabatan atau kesukuan. Hal tersebut tercermin dalam ungkapan Rasulullah saw. kepada orang Yahudi yang mengikuti Nabi Musa berpuasa ‘Asyuro dengan landasan hubungan kekerabatan.
3- Hijrah merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan seorang muslim yang ingin menjaga keimanan dan keyakinannya.
4. Umat Islam seharusnya memiliki jati diri yang nyata dalam kehidupan. Perintah Rasulullah saw. dalam berbagai kesempatan agar kita berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani adalah sebuah ajaran agar kita sebagai seorang muslim memiliki karakteristik khusus sesuai dengan keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai kita menggantungkan kecintaan kita, kebiasaan hidup kita, apalagi dalam masalah ibadah dan keyakinan kita dengan mengikuti ajaran keyakinan lain.
5. Pentingnya melakukan tabayyun (pengecekan) dalam berbagai hal, lalu menyatakan sikap yang tegas untuk mengatasinya. Sebagaimana Rasulullah saw. melakukan tabayyun tentang sikap orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari Asyura, kemudian setelah itu beliau menyatakan sikapnya.
6. Ibadah merupakan realisasi syukur yang paling nyata kepada Allah Ta’ala. Selamatnya nabi Musa dari kejaran Fir’aun disikapi dengan berpuasa untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagai rasa syukur kepada-Nya, bukan dengan berpesta pora plus kemaksiatan, sebagaimana yang sering kita lihat fenomenanya.
7. Islam selalu menuntut umatnya berada dalam posisi wasathiyah (pertengahan), tentu dengan bimbingan dan landasan syari’ah. Tidak bersikap Ifroth (berlebih-lebihan) dan Tafrith (Sembrono). Menjadikan hari Asyuro sebagai hari kesedihan di satu pihak sementara pihak lainnya menjadikannya sebagai hari bersuka cita adalah fenomena Ifroth wa Tafrith.
8. Menolak kemungkaran tidak dibenarkan jika dilakukan dengan kemungkaran yang lain. Penolakan kaum Nawasib yang bersuka cita pada hari kematian Husain sebagai counter terhadap kebatilan orang Syiah yang mengeksploitasi kesedihan pada hari yang sama adalah langkah yang tidak disetujui oleh para ulama.
Semoga kita dijadikan ummat Rasulullah saw. yang cinta kepadanya dan ajaran-ajarannya serta diberikan petunjuk untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan ketentuan yang telah digarikan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada Makhluk yang paling kita cintai dalam kehidupan kita; Rasulullah saw beserta keluarga dan para shahabatnya.
[1]. Muttafaq alaih; Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, hadits no. 4662, dan Shahih Muslim, Kitab al-Qasamah, hadits no. 29-(1679)
[2]. Lihat Tafsir al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkami al-Quran) pada penafsiran ayat ini, 8/122.
[3]. Tafsir At-Thabari, 6/364
[4]. Ibid
[5]. Sirah Ibnu Hisyam, 3/135
[6]. Dimana hal tersebut memberi kesan telah usainya tugas-tugas dasar kaum muslimin dalam melaksanakan perintah-perintah Allah yang utama, sehingga seakan-seakan setelah itu, seorang muslim hendak memulainya dari awal kembali. Wallahua’lam.
[7]. Bai’atul Aqabah kedua adalah bai’at yang dilakukan oleh 73 laki dan 2 orang wanita dari penduduk Madinah kepada Rasulullah saw. Tterjadi pada tahun 13 kenabian. Diantara isinya adalah kesiapan para shahabat untuk membela dan melindungi Rasulullah saw apabila beliau datang ke Madinah. (Lihat kitab Rahiqul Makhtum, Syekh Shafiurrahman Mubarakfury)
[8]. Fathul Baari, Bab Tarikh, 7/268-269
[9]. Lihat Shahih Bukhari, Kitab ash-Shaum, no. 2002 dan Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 113-(1125)
[10]. Lihat Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 196-(1662), Sunan Abu Daud, Kitab ash-Shiyam, no. 2425, Jami’ at-Tirmizi, no. 752, Sunan Ibnu Majah, Kitab ash-Shiyam, no. 1738.
[11]. Lihat Shahih Bukhari, Kitab ash-Shaum, no. 2006, dan Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 131-(1132), redaksi dari riwayat Bukhori.
[12]. Shahih Bukhari, Kitab ash-Shaum, no. 2004, redaksi dari beliau, dan Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 127-(1130), redaksinya: “Kitab lebih utama terhadap musa dari kalian.”
[13]. Lihat Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. 133-(1134), Sunan Abu Daud, Kitab ash-Shiyam, no. 2445, Sunan Ibnu Majah, Kitab ash-Shiyam, no. 1736
[14]. Lihat Musnad Imam Ahmad, 1/241, no. 2154. Syekh Syu’aib al-Arna’uth berkomenter: “Sanadnya lemah”, Shahih Ibnu Khuzaimah, 3/290, no. 2095. Syekh al-Albany berkomentar tentang riwayat hadits ini: “Sanadnya lemah, karena lemahnya hafalan Ibnu Abi Laila, sedangkan Atha serta lainnya bertentangan dengannya. Ibnu Abbas meriwayatkannya secara mauquf. Sanadnya shahih hingga at-Thahawi dan Baihaqi.” Lihat. Dha’if al-Jaami’, no. 3506.
[15]. Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hambali, hal. 53
[16]. Zaadul Ma’aad, Ibnu Qoyim, 2/75-76
[17]. Lihat Dha’if Jami’ Ash-Shagir, no. 3506
[18]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/112, Latha’iful Ma’arif, hal. 53
[19]. Makalah berjudul: Al-Ahadits al-Waridah fi Shiyami ‘Asyuro wal Marahil allati Marra biha, DR. Bandar bin Nafi’ al-‘Abdali. Sumber: www.saaid..net.com
[20]. Jaami’ at-Tirmizi, Kitab Al-Manaqib, no. 3775, Sunan Ibnu Majah, Kitab as-Sunnah, no. 14. Dishahihkan oleh Al-Albany dari Shahih Tirmizi, no. 225 dan Shahih Ibnu Majah, no. 29.
[21]. Jami’ At-Tirmizi, kitab al-Manaqib, 3768, Sunan Ibnu Majah, kitab as-Sunnah, no. 118. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi, no. 2965, dan Shahih Ibnu Majah, no. 96.
[22]. Dikutip dari makalah: “Ma’al Husain bin Ali fi Karbala.”, Dr. Khalid bin Su’ud al-Hulaiby. Kisah lengkapnya dapati dikaji di kitab: Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, 8/172-191
[23]. Shahih Bukhari, Kitab al-Jana’iz, no. 1294, Shahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 165-(103)
[24]. Shahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 167-(104)
[25]. Syarah Muslim, Imam Nawawi, 2/110
[26]. Shahih Bukhari, Kitab Fadha’il Ashabin-Nabi, no. 3673, Shahi Muslim, Kitab Fadha’ilush-Shahabah, 221-(2540)
[27]. Lihat: Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 25/309-310
[28]. Diantara adat ritual yang sering dilakukan di daratan Jawa, dikenal dengan istilah Kirab 1 Suro. Meskipun hal ini tidak dikaitkan langsung dengan hari Asyuro, namun dari penyebutan kata Suro memberi kesan yang sangat kuat dengan hari Asyuro. Harian Media Indonesia, edisi: Selasa, 31 Januari 2006M, menurunkan sebuah artikel tentang acara tersebut untuk tahun ini, bertajuk: “Ribuan Obor Iringi Kirab Malam 1 Suro di Solo,”. Berikut ulasannya:
(Sedikitnya 3.850 obor (oncor) menerangi jalannya kirab pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menyambut tahun baru Islam 1 Muharam 1427 H atau malam 1 Suro di kota Solo, Selasa (31/1) dini hari.
Kirab pusaka yang dilepas Pakoe Boewono XIII Hangabehi dari halaman Kamandungan ini seperti tahun-tahun sebelumnya dipandu oleh tujuh ekor kerbau bule keturunan Kyai Slamet. Kerbau-kerbau yang dipercaya memiliki kekuatan gaib dan selalu pulang ke kandang setiap menjelang malam 1 Suro itu bertindak sebagai penunjuk jalan (cucuk lampah) bagi iring-iringan kirab pusaka.
Di belakang barisan kerbau bule, menyusul para abdi dalem pembawa berbagai jenis pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Menurut salah seorang kerabat Keraton, Kanjeng Pangeran Edy S Wirabhumi ada tiga belas pusaka Keraton yang dikirab. Tiga belas pusaka itu, menurut Edy merupakan pusaka-pusaka yang dipilih berdasarkan wangsit yang diterima PB XIII Hangabehi menjelang malam 1 Suro.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kirab ini menyusuri jalan-jalan yang berada di sekitar kompleks Keraton Surakarta. Dimulai dari Kamandungan, rombongan kirab keluar kompleks Keraton melalui alun-alun utara, menyusuri jalan Mayor Soenaryo menuju gading.
Dari perempatan Gading rombongan kirab menyusuri jalan Diponegoro menuju Jalan Slamet Riyadi untuk selanjutnya kembali ke Keraton melalui alun-alun utara.
Kirab ini sendiri mendapat sambutan antusias warga masyarakat Solo dan sekitarnya. Meski suasana sedikit lembab karena sebelumnya diguyur hujan hingga sore, disepanjang rute yang dilalui, warga tetap menanti iring-iringan kirab pusaka dengan penuh semangat.
Selain kirab pusaka, acara menyambut malam 1 Suro juga di gelar oleh Pakoe Boewono XIII, Tedjo Wulan. Berbeda dengan PB XIII Hangabehi, PB XIII Tedjo Wulan memilih menyambut datangnya 1 Suro dengan menggelar acara tirakatan di kediamannya di kampung Badran, Kota Barat, Solo.
Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 22.00 WIB ini juga dihadiri ratusan warga masyarakat. Dalam tirakatan yang antara lain diisi dengan zikir itu, mereka juga memanjatkan doa bagi keselamatan bangsa dan negara.
Selain oleh dua PB XIII itu, kegiatan menyambut 1 Muharam atau 1 Suro juga digelar kerabat Pure Mangkunegaran. Kegiatan ini dilakukan melalui kirab pusaka oleh para kerabat dan abdi dalem mengelilingi tembok Pure Mangkunegaran. Uniknya, peserta kirab ini semuanya melakukan tapa bisu atau tidak boleh berbicara sedikitpun.
Selain di Kasunanan Surakarta dan Pure Mangkunegaran, kegiatan menyambut tahun baru Islam ini juga dilakukan warga masyarakat dikampung masing-masing. Rata-rata diisi dengan kegiatan zikir dan doa bersama di masjid.
H. Abdullah Khidir, Lc
--
0 komentar:
Posting Komentar