Beberapa Pendekatan Kepribadian
1. PRIBADI BERIMAN
Kisah-kisah berikut ini akan menjelaskan apa itu pribadi beriman (dzatiyah imaniyah) yang kita maksud :
Kisah di masa lalu
a. Kisah Qiyamullailnya Rasulullah Saw.
Imam Bukhari berkata : “Dari Abu Nu'aim ia berkata : “telah mengatakan kepada kami Mis'ar sebuah riwayat dari Ziyad, Ia berkata : "Aku mendengar Al Mughirah ra. berkata : "Jika Nabi Saw. sering berdiri -melaksanakan shalat -sampai kakinya (betisnya)- bengkak. Seseorang bertanya bagaimana itu bisa terjadi, Beliau pun menjawab: ‘Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang paling bersyukur.’
{ Fathul Bari 3/14 hadits nomor 1130, As Salafiyah}
Padahal Nabi Saw. adalah orang yang telah mendapat jaminan pengampunan dosa, baik yang telah berlalu ataupun yang akan datang kemudian. Namun kita melihat betapa bersungguh-sungguhnya beliau dalam membiasakan diri melakukan ibadah-ibadah sunnah.
b. Kisah Abu Lubabah dalam peristiwa pengepungan Bani Quraidzah
Tatkala Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah mengutus beberapa utusan kepada Rasulullah Saw. Mereka berkata,: "Wahai Rasulullah utuslah kepada kami Abu Lubabah ibn Abdullah ibn Abdul Mundzir, saudara Bani 'Amr Ibn Auf mereka adalah sekutu kabilah Aus, untuk merundingkan perkara kami ini."Rasulullah pun mengutus Abu Lubabah kepada mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah, Maka berdirilah kaum laki-laki, perempuan serta anak-anak mereka, seraya menangis memohon perlindungan Abu Lubabah. Beliau pun lantas memisahkan mereka, yang kemudian bertanya:’Wahai Abu Lubabah apakah kita akan menyetujui keputusan Muhammad ?’ Abu Lubabah menjawab:’Ya’ Sambil memberikan isyarat kepada lehernya, sebagai isyarat ancaman akan dibunuh (jika tidak menyetujui perrundingan-pent). (setelah itu) Abu Lubabah berkata:’Demi Allah tidaklah aku langkahkan kakiku dari tempat itu kecuali aku sadar bahwa diriku telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya’. Tak lama Kemudian Abu Lubabah pun pergi dan tidak menemui Rasulullah Saw., lantas ia mengikat diri pada salah satu tiang masjid, Seraya berujar,‘Aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini sampai Allah mengampuni kesalahan yang telah ku perbuat itu ‘, Ia berjanji kepada Allah :’aku tidak akan menginjakkan kaki lagi di Bani Quraidzah dan melihat negeri yang disitu aku berbuat dosa kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya.’
{ Sirah Ibnu Hisyam 3/247}
Abu Lubabah pun terikat enam hari lamanya di tiang masjid. Setiap waktu shalat sang isteri melepas tali ikatan beliau untuk menunaikan shalat kemudian mengikatnya kembali setelah selesai shalat. Seperti itulah keadaan beliau setiap hari hingga turun ayat yang menyatakan telah diterimanya taubat beliau ra :
"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang." (QS.9:102)
c. Kisah Abbad ibn Bisyr
Suatu malam Abbad Ibn Bisyr bertugas menjaga pasukan muslimin yang baru pulang dari perang Dzatu Riqa’. Tiba-tiba lebih dari tiga anak panah bertubi-tubi menghunjam ketubuhnya. Karena takut meninggal (sementara ia sedang bertugas) Abbad pun membangunkan rekan jaganya, Ammar Ibn Yasir. Ammar terkejut melihat sahabat Anshar ini telah bergelimang darah. Ia bertanya,’Subhanallah, Kenapa engkau tidak membangunkanku ketika pertama kali terkena panah?’ Abbad pun menjawab,’Ketika itu aku sedang membaca satu surat dalam Al Quran dan aku tidak ingin memutuskannya hingga membaca seluruh surat itu, ketika panah itu bertubi-tubi menghunjam tubuhku lantas aku ruku dan membangunkan engkau. Demi Allah, kalaulah aku tidak ingin menyia-nyiakan perintah Rasulullah Saw. pasti jiwa ini telah melayang (karena akan aku teruskan bacaan itu) sebelum aku menamatkan surat yang sedang kubaca.’
Kisah Kontemporer
{ Fathul Bari 3/14 hadits nomor 1130, As Salafiyah}
Padahal Nabi Saw. adalah orang yang telah mendapat jaminan pengampunan dosa, baik yang telah berlalu ataupun yang akan datang kemudian. Namun kita melihat betapa bersungguh-sungguhnya beliau dalam membiasakan diri melakukan ibadah-ibadah sunnah.
b. Kisah Abu Lubabah dalam peristiwa pengepungan Bani Quraidzah
Tatkala Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah mengutus beberapa utusan kepada Rasulullah Saw. Mereka berkata,: "Wahai Rasulullah utuslah kepada kami Abu Lubabah ibn Abdullah ibn Abdul Mundzir, saudara Bani 'Amr Ibn Auf mereka adalah sekutu kabilah Aus, untuk merundingkan perkara kami ini."Rasulullah pun mengutus Abu Lubabah kepada mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah, Maka berdirilah kaum laki-laki, perempuan serta anak-anak mereka, seraya menangis memohon perlindungan Abu Lubabah. Beliau pun lantas memisahkan mereka, yang kemudian bertanya:’Wahai Abu Lubabah apakah kita akan menyetujui keputusan Muhammad ?’ Abu Lubabah menjawab:’Ya’ Sambil memberikan isyarat kepada lehernya, sebagai isyarat ancaman akan dibunuh (jika tidak menyetujui perrundingan-pent). (setelah itu) Abu Lubabah berkata:’Demi Allah tidaklah aku langkahkan kakiku dari tempat itu kecuali aku sadar bahwa diriku telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya’. Tak lama Kemudian Abu Lubabah pun pergi dan tidak menemui Rasulullah Saw., lantas ia mengikat diri pada salah satu tiang masjid, Seraya berujar,‘Aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini sampai Allah mengampuni kesalahan yang telah ku perbuat itu ‘, Ia berjanji kepada Allah :’aku tidak akan menginjakkan kaki lagi di Bani Quraidzah dan melihat negeri yang disitu aku berbuat dosa kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya.’
{ Sirah Ibnu Hisyam 3/247}
Abu Lubabah pun terikat enam hari lamanya di tiang masjid. Setiap waktu shalat sang isteri melepas tali ikatan beliau untuk menunaikan shalat kemudian mengikatnya kembali setelah selesai shalat. Seperti itulah keadaan beliau setiap hari hingga turun ayat yang menyatakan telah diterimanya taubat beliau ra :
"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang." (QS.9:102)
c. Kisah Abbad ibn Bisyr
Suatu malam Abbad Ibn Bisyr bertugas menjaga pasukan muslimin yang baru pulang dari perang Dzatu Riqa’. Tiba-tiba lebih dari tiga anak panah bertubi-tubi menghunjam ketubuhnya. Karena takut meninggal (sementara ia sedang bertugas) Abbad pun membangunkan rekan jaganya, Ammar Ibn Yasir. Ammar terkejut melihat sahabat Anshar ini telah bergelimang darah. Ia bertanya,’Subhanallah, Kenapa engkau tidak membangunkanku ketika pertama kali terkena panah?’ Abbad pun menjawab,’Ketika itu aku sedang membaca satu surat dalam Al Quran dan aku tidak ingin memutuskannya hingga membaca seluruh surat itu, ketika panah itu bertubi-tubi menghunjam tubuhku lantas aku ruku dan membangunkan engkau. Demi Allah, kalaulah aku tidak ingin menyia-nyiakan perintah Rasulullah Saw. pasti jiwa ini telah melayang (karena akan aku teruskan bacaan itu) sebelum aku menamatkan surat yang sedang kubaca.’
Kisah Kontemporer
Dzatiyah dalam konteks para dai masa kini berarti upaya sinergis antara pencapaian pahala dan peningkatan kualitas diri dengan cara melakukan amal-amal yang bermanfaat bagi orang lain, seperti yang pernah dilakukan Abdullah Ibn Abbas ra.
Berikut beberapa kisah yang menunjukan kepada makna dzatiyah imaniyah ini:
a. Seorang akh menceritakan kisah yang terjadi ketika ia melakukan rihlah jihadiyah bersama beberapa orang rekannya. Suatu malam ia bangun lantas pergi berwudlu untuk melaksanakan shalat malam. Setelah menyelesaikan wudlunya ia melihat tempat pakaian kotor yang penuh dengan baju-baju kotor, mungkin karena tidak ada waktu senggang sehingga pakaian kotor itu dibiarkan menumpuk begitu saja. Allah berkenan menggerakan hati akh ini untuk mencuci pakaian kotor rekan-rekannya. Sebelum waktu shubuh tiba ia telah selesai mencuci semua pakaian kotor itu dan hanya sempat melaksanakan shalat witir, kemudian ia bangunkan rekan-rekannya untuk melaksanakan shalat shubuh. Akh ini mengatakan bahwa ia menemukan ketinggian iman yang belum pernah dirasakannya dalam ibadah-ibadah yang selama ini ia laksanakan.
b. Seorang akh menceritakan kisah lain. Pada suatu malam, ketika tengah melaksanakan ibadah haji, Ia tinggal bersama orang-orang terhormat disalah satu tenda dari sekian banyak tenda di Mina. Malam pertama dari hari-hari tasyrik itu para jemaah telah cukup letih setelah berturut-turut melaksanakan manasik –wukuf di Arafah kemudian menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha-. Akh ini melanjutkan kisahnya,:”Pada malam tersebut ia bangun lebih awal untuk melaksanakan qiyamullail. Ia pun pergi berwudlu –peristiwa ini terjadi sepuluh tahunan yang lalu (tahun 80-an– pent). Saat itu belum ada WC umum seperti sekarang-. setibanya di penampungan air ternyata para jamaah telah berjejal antri hendak berwudlu. Samar-samar terlihat seseorang mengendap-endap ditengah gulita malam, nampaknya dia sedang membetulkan kakus-kakus yang sudah rusak. Usahanya ini ia lakukan guna memudahkan saudara-saudaranya mempersiapkan diri untuk menunaikan shalat shubuh. Saya pun mengenalnya, ia adalah seorang pemuda yang belum lama tersentuh oleh dakwah. Sepengetahuan saya akh ini adalah direktur sebuah badan usaha milik pemerintah yang membawahi tidak kurang dari seribu orang karyawan. Saya takjub dan bertahmid kepada Allah SWT yang telah menunjukan saudara saya ini untuk proaktif melakukan pekerjaan yang mulia tersebut. Kemudian saya pun berwudlu dan melaksanakan shalat. Hanya inilah yang bisa saya lakukan, alangkah bahagia akh yang diperkenankan melakukan amal mulia itu.
2. PRIBADI BERAKHLAK
Berikut beberapa kisah yang menunjukan kepada makna dzatiyah imaniyah ini:
a. Seorang akh menceritakan kisah yang terjadi ketika ia melakukan rihlah jihadiyah bersama beberapa orang rekannya. Suatu malam ia bangun lantas pergi berwudlu untuk melaksanakan shalat malam. Setelah menyelesaikan wudlunya ia melihat tempat pakaian kotor yang penuh dengan baju-baju kotor, mungkin karena tidak ada waktu senggang sehingga pakaian kotor itu dibiarkan menumpuk begitu saja. Allah berkenan menggerakan hati akh ini untuk mencuci pakaian kotor rekan-rekannya. Sebelum waktu shubuh tiba ia telah selesai mencuci semua pakaian kotor itu dan hanya sempat melaksanakan shalat witir, kemudian ia bangunkan rekan-rekannya untuk melaksanakan shalat shubuh. Akh ini mengatakan bahwa ia menemukan ketinggian iman yang belum pernah dirasakannya dalam ibadah-ibadah yang selama ini ia laksanakan.
b. Seorang akh menceritakan kisah lain. Pada suatu malam, ketika tengah melaksanakan ibadah haji, Ia tinggal bersama orang-orang terhormat disalah satu tenda dari sekian banyak tenda di Mina. Malam pertama dari hari-hari tasyrik itu para jemaah telah cukup letih setelah berturut-turut melaksanakan manasik –wukuf di Arafah kemudian menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha-. Akh ini melanjutkan kisahnya,:”Pada malam tersebut ia bangun lebih awal untuk melaksanakan qiyamullail. Ia pun pergi berwudlu –peristiwa ini terjadi sepuluh tahunan yang lalu (tahun 80-an– pent). Saat itu belum ada WC umum seperti sekarang-. setibanya di penampungan air ternyata para jamaah telah berjejal antri hendak berwudlu. Samar-samar terlihat seseorang mengendap-endap ditengah gulita malam, nampaknya dia sedang membetulkan kakus-kakus yang sudah rusak. Usahanya ini ia lakukan guna memudahkan saudara-saudaranya mempersiapkan diri untuk menunaikan shalat shubuh. Saya pun mengenalnya, ia adalah seorang pemuda yang belum lama tersentuh oleh dakwah. Sepengetahuan saya akh ini adalah direktur sebuah badan usaha milik pemerintah yang membawahi tidak kurang dari seribu orang karyawan. Saya takjub dan bertahmid kepada Allah SWT yang telah menunjukan saudara saya ini untuk proaktif melakukan pekerjaan yang mulia tersebut. Kemudian saya pun berwudlu dan melaksanakan shalat. Hanya inilah yang bisa saya lakukan, alangkah bahagia akh yang diperkenankan melakukan amal mulia itu.
2. PRIBADI BERAKHLAK
Sebagai contoh pribadi berakhlak (dzatiyah akhlakiyah) adalah kisah tentang sikap Abu Bakar ra. Dalam Haditsulifqi serta pemberian maafnya terhadap Misthah Ibn Utsatsah Ibn Abbad. Untuk lebih jelasnya mari kita nukilkan keseluruhan riwayat tersebut.
Dalam riwayat Imam Bukhari Aisyah berkata: “Biasanya apabila Rasulullah saw. hendak melakukan suatu perjalanan jauh, beliau mengadakan undian di antara para isterinya. Siapa yang menang undiannya dialah yang berhak ikut mendampingi Rasulullah Saw. pada perjalanan itu. Suatu ketika Rasulullah Saw. mengundi kami untuk ikut mendampingi beliau dalam peperangan yang dipimpin beliau sendiri. Aku beruntung karena saat itu undianku lah yang keluar. Oleh karena itu aku lah yang berhak pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun ayat hijab. Kemudian aku dinaikan ke dalam sebuah sekedup dan diturunkan dalam setiap perhentian (tanpa aku keluar tetapi sekedupnya yang diturun naikan). Setelah perang selesai, Rasulullah Saw. serta rombongan pulang kembali ke Madinah (membawa kemenangan). Hampir sampai ke Madinah, beliau memberi izin kepada seluruh pasukan untuk istirahat malam. Ketika itulah, aku keluar dari sekedup dan berjalan menjauhi pasukan untuk buang hajat. Setelah selesai, aku segera kembali ke peristirahatan pasukan. Ketika aku raba dadaku ternyata kalungku yang terbuat dari permata zhafar buatan Yaman telah putus. Karena itu aku kembali mencari kalungku sehingga aku terlambat kembali ke pasukan. Sedangkan para pengawal yang bertugas menjagaku selama dalam perjalanan telah mengangkat sekedupku dan menaikkannya ke dalam punggung unta yang ku kendarai (dan mereka menyangka aku ada didalamnya) lalu mereka berangkat. Ketika itu berat badanku sangat ringan, sehingga kalau akau berada dalam sekedup, para pengawal tidak akan merasa lebih berat bila mereka mengangkat sekedup itu. Dan ketika itu aku masih merupakan perempuan muda usia. Mereka terus berjalan menggiring untaku (tanpaku). Aku mendapatkan kalungku kembali setelah pasukan berjalan agak jauh. Ketika aku sampai di tempat peristirahatan, kudapati di sana telah sepi. Aku memutuskan untuk tetap menunggu di tempat semula. Karena aku pikir, bila rombongan tidak menemukanku, tentu mereka akan kembali mencariku. Ketika aku duduk menunggu mereka di tempat itu, aku mengantuk dan tertidur. Kebetulan Shafwan Ibn Mu’aththal As-sulami Adz Dzakwani ketinggalan pula oleh rombongan. Dan dia lewat ke tempatku menunggu . Ketika dia melihat sesosok tubuh yang sedang tertidur, dia pun mengenaliku. Dia memang sudah pernah melihatku sebelum ayat hijab turun. Aku terbangun ketika dia dengan terkejut mengucapkan kalimah istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rajiun) setelah dia mengetahuiku. Dan aku segera menutup mukaku dengan jilbab (kain penutup muka). Demi Allah aku tidak mengucapkan sepatah katapun kepadanya dan dia pun tidak mengatakan sepatah kata pun kepadaku selain kalimat istirja’ yang menyebabkan aku terbangun. Dia segera menyuruh untanya merunduk sebagai isyarat bahwa aku dipersilahkan untuk menaiki kendaraan itu. Sedangkan dia sendiri berjalan kaki menuntun unta sampai pasukan tersusul oleh kami sesudah mereka berhenti beristirahat dari terik panas matahari. Sungguh celaka orang yang sengaja membuat fitnah terhadap diriku mengenai peristiwa itu, dan yang memprakarsainya adalah Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul. Urwah (rawi Hadits) berkata:’Aku dengar dialah yang menyebarluskan dan membicarakan berita bohong ini.’ Kemudian ia berkata:’Tidak disebutkan orang-orang yang terlibat dalam tragedi berita bohong ini kecuali Hasan Ibn Tsabit, Misthah Ibnt Utsatsah dan Hamnah binti Jahsyi serta beberapa orang lagi yang tidak aku ketahui. Akan tetapi tokoh utamanya tetap Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul.’ Urwah melanjutkan ceritanya:’Aisyah sangat membenci celaan Hasan Ibn Tsabit yang berkata:
Sungguh kehormatan bapak, kakek dan diriku Rela dijadikan tameng bagi kehormatan Muhammad
Aisyah berkata:” Setelah kami sampai di Madinah aku jatuh sakit selama sebulan lamanya. Sementara itu di masyarakat telah tersebar kabar bohong tentang diriku. Padahal aku tidak mengetahui sedikit pun bahwa berita itu telah menyebar sedemikian rupa. Namun ada suatu hal yang membuat aku bimbang, yakni sikap Rasulullah saw. yang tidak memperlihatkan kasih sayang seperti biasanya kalau aku sedang sakit. Beliau hanya datang menengokku, setelah mengucapkan salam beliau bertanya, “bagaimana keadaanmu? “ setelah itu beliau pamit. Itulah yang membuat aku bimbang. Aku tidak tahu sama sekali tentang berita bohong mengenai diriku, sampai pada suatu hari setelah aku agak sembuh, aku pergi bersama Ummu Misthah ke lapangan dipinggir kota untuk buang hajat. Dan kami tidak pergi ke sana kecuali hanya pada malam hari saja. Hal itu terjadi sebelum kami membuat tempat tertutup di sekitar rumah kami. Memang sudah menjadi kebiasaan orang arab masa dahulu kalau buang hajat pergi ke lapangan di pinggir kota. Karena mereka merasa jijik membuat tempat tertutup (WC) di sekitar rumah mereka. Beliau melanjutkan kisahnya: “Akupun berangkat bersama Ummu misthah dan ia adalah putri abu Ruhma Ibn Muthallib Ibn ‘Abdu Manaf, sedang Ibunya putri Shakhar Ibn ‘Amir paman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Anak lelakinya adalah Misthab Ibn Utsatsah Ibn Abbad Ibn Muththalib. Ketika kami pulang setelah buang hajat, sandal Ummu Mishtah tersangkut, lalu dia menyumpah: “celakah si Misthah.” Maka aku menegurnya, “Tidak baik berkata begitu. Bukanlah engkau memaki orang yang ikut dalam peperangan Badar? Jawab Ummu Misthah, “Alangkah bodohnya engkau! Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakannya”. Tanyaku, “Apa yang dikatakannya?” Dia pun mengabarkan kepadaku omongan tukang-tukang fitnah (yang memburuk-burukan dirimu). Semenjak aku mendengar berita Ummu Misthah itu, sakitku semakin menjadi-jadi. Ketika aku pulang Rasulullah saw. memberi salam kepadaku, lalu Beliau bertanya, “Bagaimana kondisi sakitmu ?, lalu aku bertanya kepadanya,” Bolehkah aku pulang ke rumah orang tua ku?. Sebenarnya aku hendak menanyakan perihal berita itu kepada kedua orang tuaku. Rasulullah saw. pun mengijinkanku, Aku tanyakan kepada ibu, “Bu ! apa yang sedang rame diperbincangkan orang-orang ? Ibuku menjawab “Anakku sayang ! Jangan engkau hiraukan berita itu. Demi Allah jarang sekali wanita cantik yang disayangi suaminya, kecuali akan banyak fitnah baginya.” “Subhanallah!” kataku. “Benarkah orang-orang ramai membicarakan hal itu ?”. Setelah itu aku menangis semalam suntuk. Air mataku berderai tak bisa aku tahan karenanya akupun tidak bisa tidur. Hingga subuh menjelang akupun masih terus menangis. Sementara itu Rasulullah memanggil Ali Ibn Abi Thalib dan Usamah Ibn Zaid untuk bermusyawarah dengan mereka –karena waktu itu wahyu terhenti—beliau bermusyawarah dengan keduanya apakah beliau harus menceraikanku atau tidak. Usamah Ibn Zaid menyatakan pendapatnya, bahwa dia tahu benar para isteri Rasululullah saw. semuanya suci (setia) dan dia tahu benar mereka semuanya mencintai Rasulullah saw. seraya berkata, “Mereka adalah para isteri anda. Aku yakin benar bahwa semuanya adalah istri-isteri yang setia.” Adapun Ali Ibn Abi Thalib berkata, “Allah tidak akan mempersulit anda. Masih banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika anda menghendaki seorang gadis , tidak ada seorang pun yang akan menolak anda.” Kemudian beliau panggil pula Barirah (pembantu rumah tangga Aisyah), lalu beliau bertanya, “Hai Barirah! Adakah engkau melihat sesuatu yang mencurigakan mengenai diri Aisyah? Jawab Barirah, “Demi Allah yang mengutus anda dengan membawa agama yang benar. Sungguh, aku tidak melihat sedikitpun yang mencemarkan dirinya selain hanya dia itu seorang wanita muda yang manja, yang pergi tidur meninggalkan adonan kue. Lalu datang hewan peliharaan (kucing atau kambing) memakan adonan itu. Kemudian Rasulullah saw. berpidato di mimbar, menyatakan keberatan atas tuduhan yang diprakasai oleh Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul. Sabda beliau, “Hai Kaum Muslimin! Sipakah di antara kalian yang setuju dengan penolakanku atas tuduhan yang mencemarkan nama baik keluargaku? Demi Allah, aku yakin keluargaku bersih dari tuduhan kotor yag tidak benar itu, Mereka juga telah menyebut-nyebut seorang lelaki (Shafwan Ibn Mu’aththal As Sulami) yang aku yakin bahwa dia itu orang baik. Dia tidak pernah masuk ke rumahku kecuali bersamaku. Maka berdirilah Sa’ad Ibn Mu’adz –dari kabilah Bani Asyhal-seraya berkata, “Aku membela anda wahai Rasulallah ! Jika tuduhan itu datang dari suku Aus, kami akan penggal lehernya. Dan jika datang dari saudara-saudara kami suku Khazraj, kami menunggu perintah anda. Apa yang anda perintahkan akan segera kami laksanakan. Maka berdiri pula seseorang dari Suku khazraj-dan ummu Hasan putri pamannya dia adalah Saad Ibn Ubadah, pemimpin suku Khazraj. Belia adalah orang yang saleh tetapi diperdaya oleh fanatic kesukuan Lalu dia berkata kepada Saad Ibn Muadz, “Engkau bohong ! Demi Allah engkau tidak akan sanggup membunuhnya kalaulah ia dari kerabatmu engkau pasti tidak akan membunuhnya. Maka berdiri pula Usaid Ibn Hudair, anak paman Saad Ibn Muadz. “Engkaulah yang bohong, Demi Allah! Pasti kami akan membunuhnya! Engkau munafik, karena engkau membela orang-orang munafik!”. Pertengkaran antara suku Aus dan Khazraj itu menjadi sengit, hampir saja terjadi perkelahian di antara mereka. Tetapi Rasulullah saw, yang masih berdiri di mimbar dapat menenangkan mereka sehingga mereka diam. Kata Aisyah selanjutnya, “Seharian kerjaku hanya menangis. Air mataku terus berderai dan akupun tidak bisa tidur Selama dua malam itu Kedua orang tuaku terus menemaniku, dan aku tidak bisa menahan tangis dan tetap tidak bisa tidur, aku kira jantungku pecah karenanya Ketika kedua orangku berada disampingku seorang wanita Anshor minta izin hendak menemuiku, lalu kuizinkan ia masuk. Setelah dia masuk, dia pun menangisiku (menambah kesedihanku). Sementara itu Rasulullah pun datang. Beliau memberi salam, lalu duduk disampingku. Sejak berita bohong itu tersiar, beliau tidak pernah duduk disampingku. Dan sudah sebulan tidak turun wahyu kepada beliau yang menjelaskan perkaraku ini. Ketika beliau duduk disampingku, beliau membaca tasyahud. Kemudian bersabda: “Wahai Aisyah! Telah sampai kepadaku berita tentangmu. Jika engkau bersih dari tuduhan itu, maka Allah akan membebaskanmu. Namun Jika engkau memang bersalah memohon ampunlah kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Karena mengetahui dosanya kemudian bertobat Allah pun akan menerima taubatnya.” Setelah perkataan itu selesai diucapkan, air mataku pun susut. “ Pak tolonglah aku menjawab pertanyaan Rasulullah Saw..” pintaku kepada Ayah. Beliau menjawab “Demi Allah! aku tidak tahu apa yang harus katakana kepada Rasulullah Saw.” Kemudian kuminta kepada ibu, “Bu tolonglah aku menjawab perkataan Rasul tadi.” “Demi Allah ! aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah Saw.” Maka terpaksalah aku sendiri yang menjawabnya-ketika itu aku masih sangat muda dan belum banyak mengetahui isi al-Quran. “Demi Allah! Sekarang aku telah tahu bahwa anda telah mendengar berita mengenai tuduhan terhadap diriku, sehingga tuduhan itu tertanam dalam diri anda dan tampaknya anda seperti membenarkannya. Walaupun aku mengatakan kepada anda bahwa aku bersih dari tuduhan itu Anda tentu tidak akan mempercayaiku juga. Dan seandainya aku mengatakan bahwa aku memang bersalah dan berbuat dosa, -- demi Allah, Dia jugalah yang Mahatahu bahwa aku bersih -- tentu anda akan mempercayainya. Demi Allah tidak aku ketahui contoh yang paling mengenai kejadian ini, selain nabi Ya’qub, bapak nabi Yusuf, yang berkata, “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan" Kemudian aku berpaling dan berbaring di tempat tidurku. Allah lah yang akan membersihkan nama baikku.. Namun sejauh itu, demi Allah aku tidak menduga sama sekali bahwa Allah akan menurunkan wahyu yang berkaitan dengan kasus yang sedang aku hadapi. Sungguh terlalu hina diri ini untuk hal seperti itu. Tetapi yang aku harapkan semoga Rasulullah saw. dapat bermimpi dengan mimpi yang Allah memperlihatkan kepada beliau kesucian diriku. Maka demi Allah, sebelum Rasululah Saw. meninggalkan tempat duduknya dan belum seorang pun yang keluar dari rumah kami, Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya. Terlihat Nabi saw. seperti orang yang sedang memikul beban berat,karena wahyu yang turun kepadanya sehingga beliau bersimbah peluh. Ketika wahyu telah turun, Rasulullah saw. tertawa. Kalimat yang mula-mula beliau ucapkan adalah “Wahai Aisyah, Allah SWT telah menyatakan bahwa engkau benar-benar bersih dari tuduhan itu.” lalu ibuku menyuruhku,” Bangunlah nak! Minta maaflah kepada beliau.” “Tidak perlu meminta maaf kepada beliau. Tidak ada yang aku puji selain Allah.”. Ayat itu berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. “ (QS. 24:11)
Sampai sepuluh ayat selanjutnya. Ayat-ayat ini menyatakan tentang kesucian diriku. Abu Bakar ra.,bapakku berkata-beliaulah yang membiayai hidup Misthah Ibnti Utsatsah karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia miskin-“ Demi Allah tidak akan aku berikan lagi Misthah nafkah hidup setelah ia mengatakan apa yang dikatakannya kepada Aisyah.”Maka turun pula wahyu yang melarang penghentian bantuan itu,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 24:22)
0 komentar:
Posting Komentar