Teriakan Ibu-ibu Gaza: Biarkan Pemerintah Arab Bergembira


Teriakan Ibu-ibu Gaza: Biarkan Pemerintah Arab Bergembira

Gaza: “Biarkan pemerintah Arab bergembira.” Demikian teriak seorang ibu ketika melihat dua orang anaknya yang gugur di depan kamar jenazah rumah sakit as Shifa di kotaGaza.

Sementara itu seorang ibu lain tengah menggendong putri saudaranya tertatih-tatih menuju satu-satunya rumah sakit di kotaGaza tersebut. Dia mendapati jasad para syuhada bergelimpangan di jalan-jalan rumah sakit. Tidak ada ranjang kosong untuk bocah yang mengalami luka bakar sangat parah yang ada di antara kedua tangannya itu.

“Ini adalah anak saudaraku (Ahmad al Burini), yang tinggal di samping salah satu pos keamanan. Ketika pos itu dibom, rumah itu runtuh menimpa semua yang ada di dalamnya. Saudaraku gugur dan istrinya terluka parah terbaring di rumah sakit. Anak laki-lakinya yang belum genap berusia 7 tahun terenggut nyawanya. Dan ini adalah putri dia yang masih balita mengalami luka bakar sangat parah,” ungkapnya kepada wartawan.

Sambil berupaya meringankan rasa sakit yang dialami sang bocah, mata bercucuran air mata dan berkata, “Apa dosa dia, terbangun dengan kondisi seperti ini. Tanpa ayah dan ibu.” Kemudian dia menggetarkan kepalanya dan menyudahi, “Hasbunallahu Wani’mal Wakil (Cukuplah Allah sebaik-baik penolong kami).”

Pembantaian di Jalur Gaza terus berlanjut dan korban terus bertambah. Israel terus menggempur rumah-rumah dan tempat ibadah. Jumlah korban hinggsa kini, Rabu (31/12), mencapai lebih 390 gugur dan lebih dari 1800 lainnya terluka, 300 di antaranya dalam kondisi kritis. Sesuai dengan data yang disampaikan Menteri Kesehatan Palestina Dr. Baseem Naeem. Diperkirakan angka itu masih akan terus bertambah. Disamping agresi Israel terus berlanjut, puluhan korban kini masih berada di bawah puing-puing reruntuhan.

Bau Mayat

Segera saja kamar mayat di rumah sakit as Shifa, yang hanya muat untuk 30-an jenazah, penuh sesak di tengah-tengah kedatangan puluhan regu penolong dan warga sipil yang membawa jasad dan ptongan tubuh para syuhada di jalan-jalan rumah sakit sehingga bau mayat memenuhi semua sudut rumah sakit.

Seorang pemuda bernama Muhammad Basyir dengan kedua kali telanjang tergopoh-gopoh sambil menggendong jasad seorang bocah bernama Adi Abu Munsi yang berusia 7 tahun. Dia terkena bom yang mematikan di bagian wajahnya saat dia bersama ayahnya, Abdul Hakim, yang juga gugur dalam serangan udara Israel membombardir pos polisi Palestina di Deir Balah di kotaGaza.

Lobi rumah sakit as Shifa semakin kacau dengan datangnya puluhan mobil ambulan dan mobil warga yang membawa jasad para syuhada dan korban yang luka. Melalui pengeras suara, regu penolong menyerukan kepada warga yang mengenali jasad keluarga mereka agar segera dibawa pulang untuk dimakamkan agar tidak membusuk akibat puluhan jenazah yang menumpuk di depan kamar mayat rumah sakit.

Tiba-tiba melengking teriakan seorang ibu, Asma (40), yang berjalan di antara jenazah, “Dua anak saya gugur.” Tanpa henti menangis, dengan kedua kaki telanjang dan kepala terbuka, wanita yang telah kehilangan dua darah dagingnya ini berteriak, “Biarkan pemerintah Arab berbahagia.”

Sementara itu atas kereta jenazah terbaring jasad Muhammad Abu Sya’ban, seorang anggota polisi Palestina. Di sampingnya jasad seorang bocah yang belum dikenali identitasnya. Wisam, saudara kandung Abu Sya’ban yang tidak bisa menahan air matanya, mengatakan, “Ini adalah pembantaian yang mengerikan.”

Abu Jihad (65), warga asal kampong Zaitun di timur Gaza, ini berjalan ke sana kemari penuh kelelahan di antara jasad para korban tanpa menemukan putranya yang bekerja di kepolisian. Salah seorang temannya memberitahu anaknya sudah meninggal dan masih berada di bawah puing reruntuhan kantor organisasi urusan tahanan yang menjadi target serangan udara Israel.

“Aku Kehilangan Penyejuk Hatiku”

Jauh dari rumah sakit, Ilyan jatuh pinsan ketika mendengar salah seorang putranya berteriak, “Ayah … Izzuddin telah meninggal.” Sesaat kemudian dia terbangun dan menangisi putra terkecilkan yang meninggal dalam serangan udara Israel yang menghancurkan kantor imigrasi. Tidak lama kemudian dia dikejutkan dengan berita lain yang membawa bau kematian, “Anak laki-lakimu Bakar Anwar telah pergi (meninggal). Anak saudaramu (Muhammad) juga meninggal.”

Kali ini, seluruh anggota keluarga jatuh pinsan. Rafiq, bocah berusia 3 tahun berteriak histeris, “Papa … Aku ayang papa…Kemana kau pergi…”

Anwar, dia meninggalkan seorang istri dan dua bocah kecil. Rafiq, anaknya yang berusia 3 tahun tindak henti menyanakan tentang ayahnya. Sedang anaknya yang kecil, Anas, baru berusia empat bulan, tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya.

Dengan sangat berat Ibu Anwar berkata, “Aku telah kehilangan anak yang paling besar dan paling kecil. Saya tidak meninggalkan anak-anaknya. Aku telah kehilangan penyejuk hatiku. Demi Allah, cahaya ini telah padam… telah padam…”

Penderitaan memiliki banyak wajah. Meski yang mengikat di antara penderitaan itu adalah darah. Sepekan sebelumnya, Riim, isrti Ali Abu Riyalah, mengenakan gaun pengantin putih. Dan hari ini, dia mengenakan baju hitam pekat di sisi pengantinnya.

Dia mengatakan, “Saya tidak membayangkan dia meninggalkan saya begitu cepat. Sungguh, dia pernah bercanda kepadaku, engkau akan mendengar kabar kesyahidanku (mati syahid) suatu hari … namun secepat ini … ya Allah.”

Sedang ibunya, melontarkan sumpah serapah kemarahannya kepada pemerintah Arab. “Apakah yang terjadi di leher kami adalah air. Kami meninggal dalam perang paling biadab dan paling kotor yang pernah dikenal dalam sejarah.”

Di luar tembok rumah Abu Riyalah, suara jeritan melengking tinggi dari semua tempat. Gang-gang penuh dengan korban meninggal. Dan baju hitam menjadi baju resmi kaum wanita di Jalur Gaza. (seto)
Sumber: http://www.infopalestina.com

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger