Iman Dan Harokah

iman
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan membatasi makna iman. Sebagian ulama menjadikan amal sebagai syarat sempurna dan sahnya iman. Sebagian lain menjadikannya sebagai rukun yang harus dipenuhi sehingga tidak sah iman seseorang kecuali dibarengi amal. Walaupun para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, akan tetapi pada hakikatnya keimanan bukanlah perkataan semata, iman bukan hanya perbuatan atau pengetahuan saja. Keimanan adalah amalan jiwa yang menyentuh bagian paling dalam dari diri manusia serta mencakup seluruh ruang jiwanya; berupa pengetahuan, kemauan, dan insting. Daya nalar manusia selayaknyalah mampu mengungkap hakikat alam semesta. Sehingga menjadi keyakinan yang tidak tergoyahkan yang juga harus disertai oleh ketundukan hati dan kepatuhan iradah -kemauan- yang tercermin dalam kepasrahan dan ketaatan kepada aturan Tuhan yang ia imani. Maka gelora emosi dan hati ini harus menjadi pemicu untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan akidah, iltizam -konsisten- dengan prinsip-prinsip keimanan; baik dalam akhlak, tata sikap dan jihad di jalan Allah SWT dengan harta dan jiwa.

Oleh karena itu, keimanan bukanlah pemikiran yang hidup dalam tataran akal semata atau perilaku yang tumbuh dalam lingkup amal saja. Akan tetapi, iman adalah keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati kemudian tumbuh, berkembang dan berbuah. Seperti biji yang ditanam di lahan subur, ia akan tumbuh dan berkembang, akarnya menghunjam ke dalam bumi, dahannya menjulang keangkasa, kemudian -dengan seizin Tuhannya- berbunga, berbuah dan memberikan hasil; berupa buah-buahan yang bermanfaat.
Keimanan memberikan gambaran kepada manusia tentang dunia luar dan alam lain yang ghaib baginya. Memberikan gambaran tentang hubungan alam itu dengan alam lainnya dan perannya serta hubungannya dengan alam tersebut. Ketika hal ini telah tertanam di dalam jiwa seseorang dan menjadi keyakinan, maka dirinya akan diliputi oleh keimanan itu, sebagaimana tanah menutupi biji-bijian yang ditanam padanya.
Ini adalah tabiat jiwa dan fitrah manusia yang Allah ciptakan sebagai undang-undang yang mengaturnya. Dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki, kita, manusia tidak akan mampu menjelaskan hakikat ini secara detail. Akan tetapi inilah hakikat yang harus kita jaga dan pelihara.
Pengaruh keimanan
Jika hati seseorang merasakan manisnya iman, tentram dan berpegang teguh kepadanya, maka akan muncul motivasi yang kuat dalam dirinya. Yaitu, sebuah dorongan untuk merealisasikan hakekat ini pada lingkungan di luar dirinya; dalam kehidupan nyata, dan dalam kehidupan manusia secara umum. Dia ingin menyatukan antara apa yang dirasakan relung jiwanya tentang hakikat ini dengan apa yang terjadi disekelilingnya. Kesabaran tak akan mampu menahan seorang mukmin untuk memisahkan gambaran keimanan yang ia rasakan dengan kehidupan nyata disekitarnya. Karena pemisahan ini akan menyakiti dan mengoyak-oyak jiwanya setiap saat. Dari sinilah ia bertolak untuk berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Sebuah pemberangkatan yang bersumber dari dalam diri sebagai seorang mukmin.

Ø Hakikat Iman

Telah kami katakan bahwa pada hakekatnya keimanan bukan semata-mata ucap lisan juga bukan gerak badan atau akal semata. Keimanan adalah amalan jiwa yang menyentuh kedasarnya yang paling dalam, dan mencakup segala sisi; pengetahuan, kemauan, dan emosi.

Ø Iman Bukan perkataan

Keimanan bukan ikrar seseorang dihadapan orang lain, sementara hatinya kosong dari hakekat iman itu. Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Saw. mengatakan apa yang tidak di benarkan hati mereka, Dan memproklamirkan diri bahwa mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir. Allah telah membongkar kebohongan mereka itu dengan menampakkan tipuan yang memperdaya diri mereka sendiri. Firman Allah :
"Diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu seungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar." (QS.2: 8-9)
Oleh karena itu maka perkataan tidak cukup untuk menggambarkan hakikat keimanan yang sebenarnya, sebagaiman diterangkan dalam dua ayat diatas.

Ø Iman Bukan Pebuatan Badan

Keimanan bukan aktivitas fisik yang bisa dilatih sehingga tertradisi. Orang-orang munafik sering melaksanakan shalat dibelakang Rasulullah Saw., bahkan terkadang mereka ikut berperang dengan beliau, akan tetapi amalan-amalan fisik yang merupakan syiar ajaran Islam ini tidak mengantarkan mereka kepada taman iman yang sesungguhnya. Inilah yang menunjukkan bahwa keimanan bukan semata-mata perbuatan fisik.

Ø Iman Bukan pengetahuan

Keimanan bukan pengetahuan tentang hakikat hidup dan kehidupan semata. Keimanan tidak terbatas pada kajian kitab-kitab agama serta paham tentang hakekat kebenarannya saja. semua itu tidak dapat merealisasilikan keimanan dan tidak menjadikan hati dapat merasakan nikmat iman. Betapa banyak orang yang mengetahui hakekat iman akan tetapi mereka tetap saja tidak beriman.
"Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." (QS. 27:14)

Ø Apakah Keimanan Itu ?

Sesungguhnya keimanan adalah komposisi integral antara makrifat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya dengan semua perintah Allah dan rasul-Nya. Makrifat yang menjadi sebuah keyakinan, tak tergoyahkan oleh keraguan-raguan. Pemahaman ini akan terpancang kuat di dalam hati kaum mukminin, menggerakkan seluruh indera untuk menterjemahkan arti keimanan yang terpendam di dalam hatinya. Mereka pun kemudian menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai konsekwensi dari keyakinan tersebut, menyerahkan seluruh potensi yang dimiliki, baik harta maupun jiwa untuk ia korbankan di jalan Allah SWT demi menegakkan agama-Nya.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. 49:15)
Manakala sinar keimanan itu menerangi relung jiwa, maka tunduklah seluruh indera, lahirlah rasa takut dan patuh terhadap perintah Allah SWT.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."(QS.24: 51)
Kepatuhan dan ketundukan ini mendorong seseorang menunaikan tuntutan-tuntutan akidahnya. Menjalin hubungan yang baik dengan Allah SWT, menghadap kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Membangun hubungan harmonis dengan Kaum mukminin;merasakan penderitaan mereka, meminimalisir agar mereka tidak tergelincir ke dalam jurang kesesatan, membantunya dengan harta - zakat dan sejenisnya-, dan saling tolong menolong dalam kebajikan.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia." (QS.8:2-4)
Jiwa mukmin sejati akan membenarkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tunduk dan takut kepada-Nya dan memacu diri untuk menuangkan perasaan jiwanya ke dalam akhlak dan perbuatan nyata. Dengan makna ini maka iman memiliki pengaruh positif bagi kehidupan; mencegah makar jahat, menanamkan kebajikan, cinta, ta’awun serta kasih sayang diatara sesama mukmin. Menumbuhkan sikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir. Terbuka dan tersebarlah kebajikan.
Sekali lagi, iman bukanlah teori pemikiran atau pengulangan-pengulangan lisan saja, apalagi sebagai pengetahuan atau sekedar perbuatan fisik semata. Keimanan tiada lain adalah komposisi yang dituangkan kedalam hati dan menggerakannya. Bermodal hakikat inilah orang mukmin bertolak untuk merubah lingkungan sekitarnya, sehingga agama Allah menang diatas semua agama walaupun orang-orang yang kafir membencinya.
Dari sini kita berangkat menuju hakikat akidah. Tidak mungkin seorang mukmin kosong dari hakikat ini sementara ia telah mengikatkannya di dalam hati. Seorang penulis, Ahmad Amin, menjelaskan perbedaan antara ra'yu - pemikiran- dengan akidah. Beliau berkata: "Ada perbedaan besar antara ra'yu dengan akidah. jika anda memiliki pemikiran maka ia hanya masuk ke wilayah pengetahuan anda, tetapi jika anda berakidah, maka ia akan mengalir di dalam darah, meresap kedalam sumsum dan menyelinap ke lubuk hati anda yang paling dalam."
{ faidlu al khatir jilid 1}
Makna ini menunjukan bahwa iman adalah sesuatu yang tsabit -tetap- dan mustaqir -konstan-, tidak menerima perubahan dan pergantian, tidak lemah dan tidak luntur dihadapan tipudaya musuh dan makar orang-orang jahat. Dalam hal ini Rasulullah Saw adalah qudwah bagi setiap mukmin, dimana beliau pernah berkata :
"Demi Allah, kalaulah mereka letakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, tidak akan aku tinggalkan. Sampai Allah memenangkan agama ini dan mengalahkan selainnya."
{ Syekh Al Bani berkata didalam takhrij hadits kitab fiqih sirah karya Syekh Muhamad Al-ghazali hal 114-115: "Hadits dlaif yang diriwayatkan Ibnu Ishak dengan sanad dari Ibnu Jarir dari Ya'kub Ibn Utaibah Ibn Al-Mughirah Ibn Al-Akhnas. Dan sanad ini mu'dlal. tak seorangpun sahabat yang mengetahui Ya’kub. Beliau adalah Tabiuttabiin. Imam At-thobroni meriwayatkan kisah ini dalam kitab Al-Ausath dan kitab Al-Kabir, hadits dari 'Uqail Ibn Abi Thalib disana ada perkataan "Dan kalaulah mereka meletakkan matahari…" dari nash "Demi Allah tidaklah aku lebih mampu meninggalkan apa yang telah diutuskan kepadaku daripada seseorang yang disuruh menyalakan matahari dari api" juga ada akhir dari kisah ini, berkata Abu Thalib: "Demi Allah, keponakanku ini tidak berbohong sedikitpun, pulanglah kalian. " Haitsami berkata dalam al-Majma' (6/15),: "diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan awal kisah yang sedikit diringkas, dan Abu Ya'la adalah rawi yang shahih."}
Setelah kita mengetahui iman dan tabiatnya, maka pembahasan ini akan membimbing kita -pada pembahasan selanjutnya- untuk mengetahui makna Thabi'ah at-tanfidziyah –Fenomena pribadi eksekutif­­­- dengan mudah dan jelas. Thabi'ah tanfidziyah ini merupakan dorongan dari dalam yang tumbuh dari kokohnya keimanan di dalam hati untuk merubah kondisi lingkungan sekitar dan menggantinya dengan sesuatu yang sesuai dengan nuansa iman yang ia rasakan. Motivasi dari dalam ini adalah faktor pendorong yang memiliki kekuatan untuk melakukan manuver dan gerakan. inilah yang kami maksud dengan thabi'ah tanfidziyah atau dzatiyah -kepribadian-, yang Insyaallah akan kami jelaskan pada pembahasan berikutnya.
Thabi'ah tanfidziyah adalah sesuatu yang menunjukkan nilai iman di dalam jiwa. Agar menjadi lebih jelas dan agar kita lebih memahami makna thabi'ah tanfidziyah ini, kita akan arahkan pembicaraan ini pada beberapa fenomena dari thabiah tanfidziyah ini.
Bersambung...

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger