Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan, bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Kami juga rindu, Syaikhona, saat dimana “halaqah” membuncahkan jundi-jundinya, menyebar aroma surgawi, menyambung risalah Nabi, berjibaku mengislah borok-borok duniawi, meski terkadang mereka harus dibayar dengan caci-maki.
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban, bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Lebih dari itu kami juga merindu, Syaikhona, akan lahirnya dai-dai yang merasakan bahwa membina adalah suatu kebutuhan, bukan sekedar penggugur kewajiban apalagi pelengkap syarat lulusnya pentaqwiman.
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan, bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Begitu pun dengan kami, Syaikhona, lelah semangat dan pikiran akibat terlalu banyak “keluyuran”, moga bisa segera disembuhkan, dengan banyak mengkaji dan menambah wawasan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan, bukan keraguan apalagi kecurigaan
Kami pun sangat merindu ketika “tsiqoh” tidak bertepuk sebelah tangan; saat ia tumbuh subur direlung husnudzan para pemilik jiwa-jiwa sebening kaca, merekah dikehangatan ukhuwah; dan saat dimana ia menjelma meruntuhkan dzan dan sakwasangka.
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan, bukan tuntutan dan hujatan
Kami pun rindu, Syaikhona, saat dimana “tarbiyah” merubah pikiran-pikiran picik dan kerdil menjadi terbuka dan bijaksana, menyingkirkan letupan-letupan emosi syaitoni, dan melahirkan jiwa-jiwa berkelimpahan yang tahan banting dan siap meraih “mimpi”.
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan, bukan su'udzon atau menjatuhkan
Kami pun rindu, Syaikhona, ketika “nasihat” tidak dianggap sebagai kebencian apalagi manuver untuk menjatuhkan, namun betul-betul saling mengikhlaskan, karena bukankah kita adalah ikhwan (bersaudara)?
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da'wah ini
memberikan yang terbaik untuk dakwah ini, bukan sisa-sisa (waktu, tenaga, harta dan pikiran) apalagi menganggapnya sekedar iseng-iseng dan kegiatan sambilan
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Kini nasyid-nasyid itu sudah banyak jenis dan ragamnya, Syaikhona, tinggal bagaimana putra-putri dakwah ini menjiwai, memolesnya dengan spirit dan etika islami, menggunakan dan memanfaatkannya untuk meniupkan ruh tarbawi
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Sama dengan kerinduan kami, Syaikhona, pada saat dimana “absen liqa” adalah suatu kerugian dan membolos adalah aib tarbawi yang harus segera ditobati
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Kami pun rindu saat aktifitas tarbiyah tak hanya berbuah lelah, dan ketika manuver-manuver dakwah tidak sekedar menghasilkan “ghanimah” namun betul-betul menjelma dan power full dengan spirit “ibadah”. Tentu semua akan terwujud jika selaras dengan koridor aqidah dan gelora tinggi cita-cita dakwah.
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Kami pun rindu, Syaikhona, ketika ikhwah pulang ke rumah dengan badan yang udah benar-benar lelah karena berdakwah, namun gelora semangat tidak pernah melemah, dan ibadah tetap terus bergairah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur'an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu, Aku rindu...
Ya ALLAH, Jangan Kau buang kenikmatan berda'wah dari hati-hati kami
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama
[Alm. Ust. Rahmat Abdullah Rahimahullah]
Sebagian kerinduanmu tak terbalaskan kata-kata, biarlah ia menjalar menjadi pengobat jiwa-jiwa yang luka dan sedang merana...
[dari murid yang belum sempat berguru langsung kepadamu, namun takkan pernah melupakanmu, Heri Efendi]
0 komentar:
Posting Komentar